Sederet rumus-rumus memenuhi papan tulis hari ini. Suhu ruangan hampir mencapai 310C
membuat para mahasiswa aktif mengkibas-kibaskan buku demi mengurangi
rasa gerah. Siang ini AC mati dan yang paling membuat suasana semakin
gerah karena dosennya tak kalah garang wajahnya jika disbandingkan
dengan wajah artis cantik Meriam Belina. Usai mata kuliah kimia-fisika,
para mahasiswa keluar kelas dengan wajah lesu.
“Bri, besok ada pesta meriah, di rumah Faisal. Mau ikutan?”, ajak
seorang mahasiswa pada sahabat di sebelahnya. Namun sahabat tadi hanya
diam, raut wajahnya Nampak menyimpan beban berat yang sulit ditebak.
Tubuh kuatnya kini lemas terduduk sperti tak berdaya, seperti tak ada
gairah hidup.
“Briyo, kamu ada masalah apa? Tak biasanya kamu lemah, lemas, dan lesu
seperti ini. Aku yakin jika ikutan night party ini kamu bisa lebih
rileks, sejenak kamu dapat melepaskan beban-beban masalahmu Yo..hahaha”
“Cukup Wo, Aku lagi tidak ingin membahas party…party apan. Buang-buang
dhuit saja kamu ini.”, jawab Briyo lalu pergi meninggalkan Dewo.
Dedaunan
di halaman kampus berguguran dan terik matahari menyengat. Siang ini
terasa panas, tak seperti biasanya. Mungkin pertanda musim kering
kemarau tiba. Mahasiswa jurusan Fisika itu berjalan melewati deretan
pohon-pohon ketapang yang menutupi terik matahari. Sudah cukup untuk
berlindung diri dari panas. Sedari tadi, ia hanya melihat kalender di
HPnya dan sesekali mengerutkan dahinya. Tiba-tiba Briyo berhenti di
suatu kios kecil yang sepi pembeli. Ia mengambil Koran dan langsung
membuka halaman tengah tepatnya halaman lowongan pekerjaan.
“Harian Jogja cuma Rp 2.000,00 kok Mas.”
“Iya Pak. Oh ya Pak, kok kios Bapak sepi, biasanya kios yang menjual
es, gorengan, dilengkapi pula bacaan seperti ini rame.”
“Wah Mas, namanya usaha itu ya ada pasang surutnya. Hari ini mungkin
belum untung, tapi kemarin Alhamdulillah kios ini rame.”
Mahasiswa
berbadan kekar dan tinggi itu tersenyum dan seolah ia mendapatkan ide.
Sembari membolak-balik Koran, ia terus bertukar pendapat dengan pedagang
kios kecil itu. Serasa panas siang itu tak dirasa olehnya.
***
Seorang mahasiswa asli Padang yang kerap dipanggil Briyo ini adalah
dari keluarga terpandang. Ayahnya seorang pengusaha di perusahaan
ternama di kota Padang. Sedangkan ibunya adalah ibu RT tepanya adalah
ibu rumah tangga. Orang tua berkehendak ia menjadi seorang master
lulusan Universitas terkenal di kota Yogyakarta dengan predikat cumlaude
yang nantinya jadi dosen di Univ itu. Kakak perempuannya kini telah
menempuh S2 di Jerman dan adim laki-lakinya masih kelas 2 SMA.
Bagi Briyo kuliah yang tidak ia kehendaki membuat ia harus belajar
ekstra karena ia sama sekali tak menyukai jurusan dan kampus yang tengah
ia tempati sebagai tempatnya menimba ilmu. Pergaulan bebas, hidup
boros, teman tak seiman, begitu banyak pengaruh negatif yang ia rasakan
selama ini. Bahkan uang saku satu juta tiap bulannya mampu ludes hanya
untuk hal-hal yang sia-sia.
Kini ia dihinggapi kecemasan yang membuatnya berpikir keras. Hidup tak
dapat diprediksi. Ia harus mampu hidup dengan uang Rp 200.000,- selama
dua bulan ke depan. Mampukah ia menjalani ini semua??
***
Bau busuk memenuhi seantero kamar kecil berukuran 2x3 m2.
Tumpukan-tumpukan botol aqua dan plastik nampak berserakan di sudut
kamar bercat biru laut itu. Terlihat tidak terawat namun ada makna
tersendiri di balik ketidakteraturan kamar mahasiswa asli Padang itu.
Sejak kemarin Briyo memiliki profesi baru yang ia tekuni. Keadaan
kepepetlah yang memaksanya menjadi seorang pemulung. Demi dapat
mempertahankan hidupnya di Jogja, ia harus rela putar otak, banting
tulang, menguras waktu dan harus menyerahkan sebagian waktu kuliahnya
untuk bekerja. Baginya malu bukanlah hal yang dapat menyelesaikan
masalahnya. Sejak Ayahnya dipecat perkara penyalahgunaan dana dan
keadaan ibunya yang saat ini tergolek lemas di rumah sakit, ia tak ada
pilihan lain selain belajar sambil bekerja. Ia sudah jarang berkumpul
bersama sahabat-sahabatnya layaknya dulu ketika ia bergurau sambil
makan-makan di café. Ia memilih meninggalkan dunia itu dan
mempertahankan hidupnya dengan bekerja semampunya. Pilihan yang berat.
***
Dua bulan tak terasa, kian lama kebutuhan hidup tak dapat
diperhitungkan. Meski ia tlah berusaha keras bekerja memungut sampah,
memilih yang bisa didaur ulang dan kemudian menjualnya tapi tenyata tak
mampu menutupi biaya kuliahnya. Tahu tempe manjadi pilihan menu makannya
setiap hari. Tentu saja ia harus berpikir keras lagi karena tak mungkin
selamanya ia akan bertahan menjadi seorang pemulung. Bukan karena
masalah reputasi atau apa, akan tetapi hidup perlu diperjuangkan dan tak
bisa hanya dengan berdiam diri dalam kesempitan tanpa melakukan suatu
perubahan.
Sepulang kuliah biasanya ia langsung ke kost ganti pakaian dan pergi ke
tempat-tempat di mana ada sampah yang dapat didaur ulang, namun hari
ini berbeda. Ia teringat saat ia berada di kios Bapak penjual Koran yang
pernah ia temui 2 bulan yang lalu. Pergilah ia ke tempat itu dengan
sepeda pancalnya.
“Bapak, kira-kira pekerjaan apa yang bisa cepat menghasilkan uang dengan dalam waktu yang singkat?”
Lelaki penjual koran itu tersenyum dan menjawabnya dengan jawaban yang singkat dan sederhana.
“Anak muda, di dunia ini tidak ada kebahagiaan yang instan dan tanpa melalui lembah derita.”
Dia
pergi dengan keputus asaan dan menelan kekecewaan, yang ia dapatkan
hari ini adalah nol. Segala usaha tlah ia coba, melamar tentor di
tempat-tempat bimbingan malah ditolak. Menjadi pramuniaga pun tlah ia
jalani, seringnya ia membolos membuatnya dipecat. Namun ia bukanlah
seorang yang cepat menyerah dengan keadaan bahkan sejak kesusahan yang
menimpanya, ia mulai berpikir lebih baik menjadi seorang pengusaha yang
memiliki usaha sendiri.
Matanya
tertuju pada majalah yang covernya bergambar kue-kue yang sangat
menggoda. Tangannya meraih majalah lebar yang bersampul menarik itu.
Sesaat kemudian, ia seperti mendapat ilham. Setelah ia dapatkan majalah
itu, ia pulang ke kost. Mengherankan, tak lagi mengumpulkan
barang-barang bekas. Malah mulai menekuni halaman demi halaman dalam
lembar resep kue-kue lezat itu.
Hari-hari yang berganti laksana lembaran-lembaran nestapa yang tak
ingin diulangi lagi. Bagaikan putaran warna yang berawal dari gemerlap
tiba-tiba menjadi gelap, kelam, menjadi semu, dan berakhir cerah.
Begitulah Febriyo dalam menjalani hidup ini. Dari resep kue sederhana
yang dimilikinya kini berkembang menjadi usaha kue khas yang kian hari
menjadi makanan rebutan bagi para pembeli.
Meski ia seorang mahasiswa, ia sangat pintar dalam membagi waktu.
Kuncinya adalah kreatif, efisien, dan tepat sasaran. Dalam usianya
yang berkisar 25 tahun ia telah memiliki usaha sendiri. Dalam perjalanan
yang melalui berbagai halang rintang, masih ia sempatkan untuk
menuliskannya dalam sebuah buku dan buku itu diterima oleh penerbit.
Di akhir masa kuliahnya, ia mulai merintis sebuah usaha lain yaitu
usaha penerbit dan percetakan. Ketika ia telah lulus dari S1-nya, ia
telah memiliki usaha sendiri, usaha penerbit dan percetakan “Digibooks”
yang bertempat di jalan Kaliurang KM 5 Yogyakarta. Kini ia menjadi
wirausaha berkat kegigihannya dan ia tak mengenal rasa gengsi karena
baginya matahari tetaplah matahari walau ia di balik awan, ia tetap
memiliki kekuatan untuk menerangi semesta raya.
End
Diilhami dari kisah nyata seorang pengusaha muda.
Tagged with: artikel
About semangat
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Previous
This is the last post.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar: